Arcade Cabinet Game

A

Berikut sebuah kisah di sekolah / kampus.


Larut malam, ia menatap dua monitor yang penuh kode dan sprite pixel art. Di samping cangkir kopi yang mulai dingin, sketsa karakter tertempel dengan sticky notes—target malam itu sederhana: bikin satu level yang benar-benar “klik”. Jemarinya berpindah antara keyboard dan pen tablet, menata animasi lari yang akhirnya terasa hidup.

Pagi berikutnya di maker lab, rencana di kertas berubah jadi potongan triplek. Teman-temannya menggergaji dan mengebor, sementara ia memegang panel depan—membayangkan di mana tombol A, B, dan joystick akan duduk. Serbuk kayu beterbangan, dan untuk pertama kalinya, kabinet arcade itu mulai punya bentuk dan cerita.

Siang hari di lobi kampus, bagian belakang kabinet dibuka—jantung mesin terbuka lebar. Dengan multimeter di tangan dan keringat di pelipis, ia menjejak arus yang bandel, mengejar percikan yang sesekali melompat. Satu kabel terakhir terpasang, layar tabung menyala hangat, seperti napas pertama sesudah lama menunggu.

Sore itu, kerumunan kecil pun terbentuk. Tawa meledak setiap kali karakter pixel menembus rintangan; beberapa teman langsung rebutan giliran. Di depan lobi, kabinet buatan tangan itu menjadi magnet yang tak disangka—membuktikan bahwa karya DIY bisa menyatukan orang secepat game favorit.

Keesokan harinya di kelas, dosen membandingkan alur logika dengan engine, sementara layar-layar menampilkan sprite yang sama—kini dirapikan dalam Unity/Godot. Ia menoleh ke belakang, menyadari: proyek ini bukan cuma kabinet dan game; ini ekosistem kecil tempat ide, alat, dan tim saling menumbuhkan. Yang kemarin sekadar kode, hari ini menjadi kurikulum tak resmi yang menular.


Pada akhirnya, proyek kabinet arcade ini menunjukkan bagaimana kampus bisa menjadi ekosistem pembelajaran yang menular. Begitu kabinet berdiri di lobi dan game-nya bisa dicoba siapa saja, rasa ingin tahu berubah jadi keberanian untuk ikut membuat. Mahasiswa dari berbagai jurusan mampir—ada yang bawa sketsa, ada yang ngulik kode, ada yang ahli listrik—semua menyumbang potongan kecil pada karya yang sama. Ruang belajar tak lagi sebatas kelas; maker-lab, lorong, dan sudut kantin berubah jadi studio terbuka tempat ide dipertemukan dengan obeng, joystick, dan baris kode.

Yang lebih berharga lagi, tiap giliran main adalah sesi uji pengguna langsung: komentar spontan, tawa yang pecah di momen tepat, juga kritik tajam yang memaksa desain diulang. Dari sanalah ritme iterasi tercipta—build, test, learn, repeat—membentuk budaya kampus yang bukan hanya “mengerti teori” tetapi terampil membangun, menerima masukan, dan memperbaiki. Kabinet ini jadi bukti sederhana bahwa saat karya dipakai banyak orang, pembuatnya bertambah banyak, dan pelajarannya bertambah dalam.

ps. cerita di atas, dibuat oleh AI dengan panduan saya.

About the author

Mico Wendy

Saya suka membaca buku, mencoba hal baru, berpetualang, dan traveling. Co-Founder AnakBisa.com. www.konsep.net / www.netdesain.com.

Add Comment

Mico Wendy

Saya suka membaca buku, mencoba hal baru, berpetualang, dan traveling. Co-Founder AnakBisa.com. www.konsep.net / www.netdesain.com.

Get in touch